Kewajiban Seorang Suami untuk Memberikan Nafkah Kepada Istri

Salah satu kewajiban seorang suami kepada istrinya adalah menafkahi istri. Setelah menikah, seorang wanita akan menjadi tanggung jawab suaminya termasuk soal nafkah. Hal ini djelaskan oleh Allah di dalam Al Quran, Surah An-Nisa ayat 32:

“Ar-rijaalu qawwaamuna ‘alan nisaa’i bimaa faddalallaahu ba’dahum ‘alaa baadiw wa bimaa anfaqu min amwaalihim.”

Artinya: Laki-laki (suami) adalah penanggungjawab atas perempuan (istri) karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari hartanya.”

Selain itu, dalam sebuah hadits Nabi Muhammad Sholallallhu ‘alaihi wa sallam menerangkan tentang nafkah istri yang menjadi tanggung jawab suami. Hadits tersebut diriwayatkan dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Sholallallhu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam khutbahnya ketika haji wada:

“Bertakwalah kepada Allah dalam soal wanita. sebab mereka itu adalah tawanan di tangan kalian. Kalian ambil mereka dengan amanat Allah dan kalian halalkan kemaluannya dengan kalimat Allah. Bagi mereka rezekinya atas kalian, begitu pula pakaiannya, dengan cara yang makruf.” (HR. Muslim).

Syarat Istri yang Berhak Mendapatkan Nafkah

Ada beberapa syarat seorang istri berhak mendapatkan nafkah dari suaminya, antara lain:

  1. Akad nikah harus sah dan benar sesuai syariat Islam
  2. Istrsi harus menyerahkan diri kepada suaminya
  3. Istri memberi kesempatan kepada suami untuk menggaulinya
  4. Istri tidak menolak bila diajak pindah tempat tinggal oleh suaminya kemana pun ia mau
  5. Istri layak dan bisa digauli

Jadi, jika salah satu persyaratan di atas tidak terpenuhi, maka menafkahi istri hukumnya menjadi tidak wajib.

Besaran Nafkah Suami terhadap Istri

Adapun besaran nafkah suami kepada istrinya adalah yang makruf atau sewajarnya.

Hal ini djelaskan oleh Allah di dalam Al Quran, Surah At-Talaq ayat 7:

“Liyunfiq zu sa’atim min sa’atih, wa mang qudira ‘alaihi rizquhu falyunfiq mimmaa aataahullaah, laa yukallifullaahu nafsan illaa maa aataahaa, sayaj’alullaahu ba’da ‘usriy yusraa.”

Artinya: “Hendaklah orang yang lapang (rezekinya) memberi nafkah menurut kemampuannya, dan orang yang disempitkan rezekinya, hendaklah memberi nafkah dari apa (harta) yang dianugerahkan Allah kepadanya. Allah tidak membebani kepada seorangpun melainkan (sesuai) dengan apa yang dianugerahkan Allah kepadanya. Allah kelak akan menganugerahkan kelapangan setelah kesempitan.”

Selain itu, terdapat juga beberapa penjelasan dari ulama Salaf seperti dari madzhab Hanafi, Maliki, dan Hambali yang membatasi soal nafkah yang sifatnya wajib yakni yang sekiranya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Setiap pasangan suami istri tentunya memiliki takaran yang berbeda-beda.

Hal lain yang harus diperhatikan soal nafkah istri adalah kondisi perekonomian suami. 

Keutamaan Menafkahi Istri

Berikut beberapa hadits tentang fadilah atau keutamaan memberikan nafkah kepada istri atau keluarga:

  1. Rasulullah Sholallallhu ‘alaihi wa sallam bersabda;

Artinya: “Allah menyukai orang fakir yang apik dan yang menjadi tulang punggung keluarga.” (HR. Ibnu Majah).

  • Rasulullah Sholallallhu ‘alaihi wa sallam bersabda:

Artinya: “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya. Dan akulah yang paling baik diantara kalian dalam bermuamalah dengan keluargaku.” (HR. Tirmidzi).

  • Rasulullah Sholallallhu ‘alaihi wa sallam bersabda:

Artinya: “Sungguh tidaklah engkau menginfakkan nafkah (harta) dengan tujuan mengharapkan (melihat) wajah Allah (pada hari kiamat nanti) kecuali kamu akan mendapatkan ganjaran pahala (yang besar), sampai pun makanan yang kamu berikan kepada istrimu.’ (HR. Bukhari N0. 56).